Freedom Learning Freedom Campus: Temui "Garbage Line" dan "Tourism Line" di Satu Titik
Saat ini, limbah dan industri pariwisata seperti dua jalur yang saling menjauh satu sama lain. Jika sebuah kota penuh dengan sampah, kinerja industri pariwisata akan buruk. Siapa yang mau datang sebagai turis ke kota yang kotor, banyak lalat, dan berbau seperti tumpukan sampah? Limbah yang tidak dikelola dengan baik juga menyebabkan banjir dan bahkan menjadi tempat berkembang biaknya penyakit. Siapa yang mau datang ke kota yang selalu banjir dan menjadi sarang penyakit?
Jadi, kesenjangan antara jalur limbah dan jalur industri pariwisata semakin melebar. Upaya untuk mendekatkan jalur limbah dan jalur industri pariwisata dilakukan oleh seorang dosen dari Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Presiden (PresUniv), Dr. Ir. Yunita Ismail Masjud, M.Sc., melalui program Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) dengan tema Implementasi Digital Sustainable Living melalui Keterlibatan Masyarakat dalam Mendukung Inisiatif Smart Township Jababeka. Dalam kegiatan PKM-nya, Yunita bekerja sama dengan dua dosen PresUniv lainnya, yaitu Felix Goenadi, S.PSI, M.Par. dan Ihsan Giftah, SE, B.IBM, MSM.
Yunita menjelaskan kegiatannya dalam seminar internasional mengenai pengabdian kepada masyarakat yang dilaksanakan secara hybrid, Senin-Kamis (20-23 Desember 2021). Seminar ini diselenggarakan oleh PresUniv bekerjasama dengan PT Jababeka & Co. dan FabLab, sebuah lembaga yang bergerak dalam pelatihan SDM dan pengembangan bisnis berbasis Industri 4.0. Program Yunita mendapatkan dukungan dana dari Program Penelitian Kebijakan Pembelajaran Mandiri untuk Pengabdian kepada Masyarakat Mandiri dan Prototipe PTS, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi untuk tahun fiskal 2021.
Yunita mengatakan bahwa proses ini dimulai dengan pemilahan sampah di tingkat rumah tangga. Limbah dipisahkan menjadi tiga kategori, yaitu bisa digunakan kembali (reuse), bisa didaur ulang (recycle), dan bisa diolah lebih lanjut (upscaled). Agar rumah tangga bersedia memilah sampahnya, diperlukan insentif dari Bank Sampah—yang menjadikan sampah bernilai ekonomi. Sampah yang telah dipilah kemudian dikumpulkan secara berkala.
Di tempat pengumpulan, sampah tersebut diolah menjadi berbagai produk. Misalnya, limbah makanan dapat diolah menjadi belatung, yang merupakan campuran kaya protein yang cocok untuk pakan hewan. Kemudian, sisa-sisa sampah berupa sayur dan buah dapat diolah menjadi enzim untuk disinfektan. Selanjutnya, sampah organik lainnya dapat diubah menjadi pupuk organik atau kompos, dijadikan briket, dan hasilnya dipasarkan ke industri, atau diolah kembali menjadi berbagai bahan baku. "Pada dasarnya, semua produk olahan dari limbah memiliki nilai ekonomi," kata Yunita.
Sinergi Limbah-Pariwisata
Lalu, apa hubungan antara pengolahan limbah dan industri pariwisata? Yunita menjelaskan, beberapa hotel sudah menggunakan perabot yang diproduksi dari bahan olahan limbah, seperti kertas bekas atau karton. Kemudian, hasil dari pengolahan limbah plastik juga dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan produk garmen dan berbagai kerajinan lainnya. Di daerah Tanjung Lesung, Banten, PresUniv dan Jababeka membina masyarakat lokal dalam mengolah limbah dari berbagai tanaman menjadi berbagai produk kerajinan. Produk ini kemudian dipasarkan secara online melalui situs web Window Tanjung Lesung.
Daerah juga dapat mengembangkan agro-industri yang dalam proses budidayanya menggunakan pupuk organik. Produk pertanian organik seperti ini biasanya memiliki nilai jual yang lebih tinggi.
Semua produk ini, baik pertanian organik maupun kerajinan, lanjut Yunita, dapat menjadi daya tarik khusus bagi industri pariwisata di daerah tersebut. Terutama jika produk tersebut sangat khas dan unik, dan hanya ada di daerah tertentu. Semua produk ini dapat mendukung upaya pengembangan industri pariwisata regional. "Masyarakat sangat menghargai jika ada hotel yang produk perabotannya atau berbagai produk lainnya menggunakan bahan baku dari limbah daur ulang. Jadi, dengan meningkatnya kesadaran masyarakat mengenai isu-isu lingkungan, hotel yang banyak menggunakan produk daur ulang dapat menjadi daya tarik utama," kata Yunita.
Jika kondisi seperti ini dapat terus dikembangkan, kata Yunita, "garis limbah" dan "garis industri pariwisata" yang dulu saling menjauh dapat menjadi lebih dekat satu sama lain. "Itulah yang sedang kami lakukan saat ini," katanya.
Namun, upaya untuk mewujudkan hal-hal tersebut seringkali masih menghadapi hambatan. Salah satunya adalah informasi. Misalnya, masyarakat tidak memiliki informasi mengenai tempat untuk mendistribusikan limbah yang telah mereka pilah. Mereka juga tidak tahu di mana lokasi Bank Sampah di suatu daerah. Kemudian, di sisi lain, para pengolah limbah juga seringkali kesulitan mencari limbah sebagai bahan baku. Bahkan pengguna produk limbah olahan, seperti industri yang menggunakan briket sebagai bahan bakar, juga sering kesulitan mencari briket. Jadi, harus ada pihak yang menyatukan semua pemangku kepentingan ini. Konsep ini sedang dikembangkan oleh Yunita melalui Inisiatif Smart Township Jababeka-nya.
Model 4C
Dalam mengembangkan inisiatifnya, Yunita membawa model 4C yang mencakup Conservation (Konservasi), Community (Masyarakat), Culture (Budaya), dan Commerce (Perdagangan). Dia lebih lanjut menjelaskan bahwa pengelolaan limbah adalah salah satu kegiatan dalam konservasi lingkungan. Upaya ini harus dilakukan oleh masyarakat, dan manfaatnya harus dirasakan oleh masyarakat. "Selain dalam bentuk nilai ekonomi, ada manfaat lain yang bisa diperoleh masyarakat, seperti lingkungan yang lebih bersih dan sehat," katanya. Kemudian, upaya ini juga harus memiliki nilai komersial dan berkontribusi pada pengembangan budaya lokal. "Jadi, setiap C dalam model 4C harus saling mendukung," kata Yunita.
Untuk mengintegrasikan semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan limbah, diperlukan aplikasi berbasis digital. Dalam mengembangkan aplikasi ini, kata Yunita, PresUniv bekerja sama dengan Fablab. Jadi, Fablab akan membantu mengembangkan aplikasi digital yang mampu mengintegrasikan semua sumber daya yang terlibat dalam rantai pengelolaan dan pemanfaatan limbah serta produk olahannya. "Jika upaya ini mendapatkan dukungan dari semua pemangku kepentingan, saya optimis bahwa garis limbah dan garis industri pariwisata suatu hari akan bertemu pada satu titik," demikian kesimpulan Yunita.