Pengelolaan Dampak Bencana untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus
Pada hari Senin, 16 Oktober 2021, Kelompok Studi Psikologi Bencana Ubaya (KSPB Ubaya) mengadakan sebuah webinar yang berjudul "Pengelolaan Dampak Bencana untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus". Diharapkan webinar ini akan bermanfaat untuk meningkatkan kesadaran tentang mitigasi risiko bencana bagi orang dengan disabilitas. Dalam webinar ini, KSPB mengundang dua narasumber, yaitu Dr. Dra. Lena Nessyana Panjaitan, M.Ed., Psikolog sebagai Kepala Laboratorium Psikologi Pendidikan Ubaya dan Listyo Yuwono, M.Psi., Psikolog sebagai Koordinator KSPB Fakultas Psikologi Ubaya. Lena membahas "Kerentanan Anak dengan Kebutuhan Khusus dalam Bencana", sementara Listyo menjelaskan tentang "Pengelolaan Dampak Bencana".
"Wilayah Indonesia rentan terhadap bencana," kata Lena, membuka sesi materi. Dia menjelaskan bahwa kondisi alam dan lingkungan di Indonesia menyebabkan ancaman seperti gempa bumi dan letusan gunung berapi. "Semua orang rentan dalam situasi bencana tanpa terkecuali," jelas Lena. Dengan mengetahui berbagai potensi ancaman yang dapat terjadi, Lena menekankan perlunya upaya untuk mengatasi risiko dampak bencana. "Terutama kelompok lansia dengan mobilitas terbatas dan anak-anak yang kemampuan kognitifnya belum terbentuk," lanjut Lena.
Selain itu, Lena menekankan bahwa anak-anak dengan kebutuhan khusus adalah kelompok paling rentan dalam situasi bencana. Anak-anak dengan kebutuhan khusus termasuk orang dengan disabilitas fisik, mental, disabilitas ganda, kesulitan belajar, dan potensi kecerdasan khusus. "Meskipun begitu, mereka juga berhak untuk belajar dan mandiri, sama seperti anak-anak lainnya," jelas Lena. Dia menambahkan bahwa dalam lingkup pendidikan, staf pengajar juga harus mampu mengidentifikasi dan beradaptasi dengan siswa yang memiliki kebutuhan khusus. "Hal ini dilakukan agar siswa mendapatkan persiapan untuk menghadapi krisis," lanjutnya.
Selanjutnya, Lena menjelaskan bahwa perlu adanya berbagai dukungan optimal di sekolah-sekolah dengan siswa berkebutuhan khusus. "Infrastruktur seperti jalur kursi roda, pintu keluar dorong, dan ujung meja terlindungi akan memudahkan siswa dengan kebutuhan dalam situasi bencana," jelas Lena. Guru juga harus bisa mengajar dengan metode yang menyenangkan. "Dengan begitu, informasi yang disampaikan akan lebih mudah diingat oleh anak-anak," katanya. Selain itu, diharapkan siswa juga familiar dengan istilah-istilah dalam mitigasi bencana. "Terutama untuk anak-anak yang sulit menerima informasi sensorik, ini perlu diajarkan dan lebih ditekankan," jelas Lena.
Sebelum sesi berakhir, peserta diberi kesempatan untuk bertanya, salah satunya adalah I Gusti Agung Ayu Amritashanti. "Bagaimana mengembangkan kemandirian dan pemberdayaan siswa dengan kebutuhan khusus dalam pengurangan risiko bencana?" tanyanya. Lena menjawab bahwa ini juga memerlukan kemampuan dari pihak eksternal. "Guru dan orang tua dapat membantu, namun tujuan utamanya adalah mencapai kemandirian," jelas Lena. Dia juga tidak menyangkal bahwa dengan tingkat disabilitas yang berbeda-beda, mungkin kemandirian tidak dicapai secara optimal. "Meskipun begitu, pihak eksternal tetap harus memberikan dukungan dan mengajarkan kepada siswa bahwa bencana dapat datang dari mana saja," tutup Lena.