Memadukan Badan Pemerintahan dalam Pengelolaan Lingkungan Gambut untuk Menghilangkan Ego Sektorial
Kebakaran gambut merupakan masalah yang berkelanjutan selama musim kemarau di Banjarbaru, Indonesia, dan merusak ekosistem secara serius. Pemerintah pusat dan daerah telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi kebakaran gambut. Studi ini bertujuan untuk menganalisis peran pemerintah daerah dalam pengelolaan gambut dan kebakaran gambut untuk mencegah kerusakan lingkungan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan Focus Group Discussion (FGD). Penelitian ini melibatkan 28 responden dari kelompok masyarakat yang berperan dalam pencegahan kebakaran lahan dan pemerintah daerah di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Indonesia. Data diperoleh melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Analisis data menggunakan teknik triangulasi (reduksi data, tampilan data, dan verifikasi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebakaran yang terjadi dipengaruhi oleh kurangnya koordinasi dan sinergi antara lembaga pemerintah yang berperan dalam mengatasi kebakaran gambut. Selain itu, ketersediaan sumber daya manusia yang baik, fasilitas, dan infrastruktur belum terpeta dengan baik. Akibatnya, ego sektoral menjadi masalah dalam penanganan gambut. Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara pemerintah dan masyarakat dalam mengatasi kebakaran gambut. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi dan pertimbangan bagi pihak terkait dalam pengelolaan gambut dan kebakaran gambut.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB adalah organisasi pemerintah Indonesia yang bertanggung jawab dalam penanggulangan bencana. Pemerintah daerah yang memiliki peran sebagai koordinator pengelolaan kebakaran gambut adalah Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Pemadam Kebakaran (Damkar). Strategi pengelolaan gambut harus dikembangkan untuk mengatasi kebakaran dan kabut asap (Astuti, 2020). Peningkatan pemeliharaan juga diperlukan (Kane et al., 2019). Selain aktor pemerintah, aktor non-pemerintah juga memainkan peran penting dalam penanganan kebakaran lahan di Indonesia melalui pendekatan ekologi politik (Supeni et al., 2019). Kerjasama antara pemerintah dan masyarakat perlu diciptakan dan ditingkatkan (Ahmad et al., 2019; Karklina et al., 2020).
Restorasi gambut di Indonesia dilakukan pada tahun 2016-2020. Pelaksanaan restorasi gambut dilakukan di 7 provinsi prioritas, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Jambi, Riau, Sumatera Selatan, dan Papua. Pemenuhan kebutuhan air dianggap efektif dalam mengurangi risiko kebakaran (Sirin et al., 2020). Pembentukan BRG merupakan upaya pemerintah dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia (Alisjahbana dan Busch, 2017). Beberapa daerah di dunia, selain Indonesia, telah melaksanakan restorasi gambut untuk mengembalikan gambut dari berbagai gangguan (Chimner et al., 2016) karena restorasi sangat penting dalam mengurangi perubahan iklim dan mencegah degradasi gambut (Ward et al., 2020; Warren et al., 2017). Karena perubahan iklim berpengaruh pada peningkatan kejadian kebakaran (Karklina et al., 2020), kurangnya informasi mengenai efek perubahan iklim mempengaruhi rencana pencegahan kebakaran (Haidarian et al., 2021).
Kebakaran lahan di wilayah Kalimantan Selatan pada tahun 2015 mencapai 196.516,77 ha; 2016 sebesar 2.331,96 ha; 2017 sebesar 8.290,34 ha; 2018 sebesar 98.637,99 ha; 2019 sebesar 137.848,00 ha, dan pada tahun 2020 sebesar 3.971,00 ha. Sepanjang tahun 2019, jumlah titik panas di wilayah Kalimantan Selatan mencapai 907, dengan titik panas tertinggi terjadi pada bulan September. Sementara itu, pada tahun 2020, jumlah titik panas sebanyak 35, dengan titik panas terbanyak terjadi pada bulan September 2020. Kebakaran gambut hanya menyumbang 30% dari total kebakaran lahan di Indonesia, namun dampaknya jauh lebih besar dibandingkan pada tanah mineral karena kepadatan kebakaran (Purnomo et al., 2017). Kebakaran lahan di wilayah Kalimantan Selatan cukup parah di area Banjarbaru (Arisanty et al., 2019). Kebakaran lahan di area Banjarbaru menjadi masalah karena di wilayah ini terdapat Bandara Internasional Syamsudin Noor. Pada tanggal 13 September 2019, enam titik panas tersebar di sekitar bandara, yaitu 4 titik di Desa Gunung Damar, 1 titik di wilayah Trikora, dan 1 titik di Desa Liang Anggang.
Keberhasilan program restorasi gambut di Provinsi Kalimantan Selatan akan kurang terlihat jika area Banjarbaru, pemerintah pusat, dan area bandara terus terbakar (Arisanty et al., 2020). Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara pemerintah daerah dalam mengatasi kebakaran lahan setiap tahun dengan mencegah dan mengatasi kebakaran lahan melalui berbagai program dan penyediaan infrastruktur. Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan dari artikel ini adalah untuk menganalisis peran pemerintah daerah dalam mengelola kebakaran lahan gambut, menganalisis permasalahan dalam pengelola kebakaran lahan, dan menganalisis sinergi pemerintah daerah dalam mengelola kebakaran lahan gambut. Untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan survei penelitian di Banjarbaru, Indonesia.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan Focus Group Discussion (FGD). Responden yang terlibat dalam penelitian ini adalah 28 orang dari kelompok masyarakat yang berperan dalam pencegahan kebakaran lahan dan pemerintah daerah di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Indonesia. Responden yang terlibat mencakup Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan, BPBD Banjarbaru, Manggala Agni Provinsi Kalimantan Selatan, Dinas Pemadam Kebakaran Banjarbaru, dan BASARNAS. Area Banjarbaru dipilih sebagai area penelitian karena sebagian besar kebakaran lahan terjadi di area ini.
Peran pemerintah daerah dalam mengelola kebakaran lahan gambut: Pemerintah Banjarbaru telah melakukan upaya yang besar dalam menangani kebakaran, terutama di lahan gambut, baik dalam konteks pencegahan kebakaran lahan maupun pemadaman ketika kebakaran terjadi. BPBD memiliki tugas dan fungsi utama dalam memerangi kebakaran hutan di Banjarbaru namun terbatas oleh infrastruktur, dana, dan sumber daya manusia. Kebutuhan ketika memadamkan kebakaran lahan adalah perlengkapan pemadam kebakaran, sumber air, dan dapur umum. Perlengkapan pemadam kebakaran digunakan untuk memadamkan kebakaran, tenda pos lapangan, mobil pemadam kebakaran, dan tangki air. Selain itu, dapur umum diperlukan untuk menyediakan makanan dalam situasi kebakaran untuk mendukung kebutuhan logistik bagi petugas pemadam kebakaran yang memadamkan kebakaran selama kebakaran lahan terjadi. Keterlibatan semua lembaga pemerintah diperlukan untuk memerangi kebakaran lahan. Sosialisasi pencegahan kebakaran lahan diperlukan dengan melibatkan Badan Nasional dan Kesatuan Bangsa melalui forum kebersamaan keagamaan. Sosialisasi diperlukan agar tidak membakar lahan setelah dan sebelum penanaman dalam persiapan lahan. Pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang dampak kebakaran sangat penting dalam menentukan pencegahan kebakaran lahan. Dinas Pangan, Pertanian, dan Perikanan Banjarbaru dapat membantu menyampaikan informasi kepada masyarakat tentang persiapan dan pasca panen tanpa membakar lahan. Dinas Kehutanan juga dapat mensosialisasikannya kepada masyarakat dengan mengimbau agar tidak membakar area hutan.
Permasalahan dalam pengelolaan kebakaran: Pemerintah daerah Banjarbaru mengalami kesulitan dalam mengelola kebakaran lahan gambut. Karena jaraknya yang jauh dari lahan yang terbakar, ketersediaan sumber air yang terbatas menyebabkan kebakaran sulit diatasi (Santika et al., 2020). Ketersediaan air dapat mengurangi risiko kebakaran lahan (Moghaddam et al., 2021). Sumber air di Banjarbaru adalah waduk, sumur bor, dan saluran irigasi. Ketersediaan waduk dangkal hanya ada satu buah. Pemboran sumur juga terbatas jumlahnya dan dalam kondisi yang kurang baik. Perlu ditambahkan waduk dan dilakukan penggalian waduk dangkal. Sumur yang rusak juga dapat diperbaiki dan jumlah sumur bor ditingkatkan, terutama di lokasi yang dekat dengan lokasi kebakaran. PUPR adalah instansi yang dapat meningkatkan jumlah waduk dan sumur bor. Tidak semua instansi pemerintah memiliki perlengkapan pemadam kebakaran, hanya beberapa instansi seperti BPBD, dinas kehutanan, Manggala Agni, dan pemadam kebakaran. Keterbatasan dana menyebabkan penyediaan perlengkapan juga masih terbatas. Beberapa perlengkapan juga dalam kondisi rusak. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menganggarkan pembelian perlengkapan. Sumber dana berasal dari instansi pemerintah dan sumber dana lainnya, termasuk perlengkapan pemadam kebakaran. Ego sektoral dan komitmen juga menjadi permasalahan dalam penanganan kebakaran lahan di area Banjarbaru. Pemerintah memiliki strategi dan intervensi yang berbeda dalam mengatasi kebakaran lahan gambut yang menyebabkan kegagalan penanganan kebakaran lahan (Jefferson et al., 2020). Pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat memiliki strategi pengelolaan lahan yang berbeda, yang menyebabkan kegagalan (Jefferson et al., 2020). Solusi yang dapat dilakukan adalah dengan memiliki koordinator yang memiliki tanggung jawab utama dalam penanganan kebakaran lahan dan dapat berkoordinasi dengan semua instansi. BPBD dapat menjadi koordinator dalam penanganan kebakaran lahan...
Melalui upaya kolaboratif antara pemerintah daerah, instansi pemerintah terkait, dan masyarakat, diharapkan pengelolaan kebakaran lahan gambut di Banjarbaru dapat menjadi lebih efektif dan terkoordinasi. Koordinasi antarlembaga pemerintah, peningkatan sarana dan prasarana, serta kesadaran masyarakat tentang pentingnya pencegahan kebakaran lahan akan menjadi faktor kunci dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan mencegah kerusakan yang lebih lanjut. Dengan menghilangkan ego sektoral dan memprioritaskan sinergi antar badan pemerintahan, pengelolaan lingkungan gambut di Banjarbaru dapat menjadi lebih efektif dan memberikan solusi yang lebih baik dalam mengatasi masalah kebakaran lahan. Dalam menghadapi tantangan ini, penting bagi pemerintah daerah, instansi pemerintah terkait, dan masyarakat untuk bekerja sama dan saling mendukung dalam pengelolaan lingkungan gambut.
Pengelolaan kebakaran lahan gambut merupakan tantangan yang kompleks dan memerlukan peran aktif dari pemerintah daerah dan instansi terkait. Penelitian ini menunjukkan bahwa peran pemerintah daerah dalam pengelolaan kebakaran lahan gambut sangat penting. Namun, terdapat permasalahan dalam pengelolaan yang perlu diatasi, seperti kurangnya koordinasi antara lembaga pemerintah yang berperan dalam penanggulangan kebakaran lahan dan ketersediaan sumber daya yang belum terpeta dengan baik.
Diperlukan sinergi antara pemerintah daerah dan masyarakat dalam mengatasi kebakaran lahan gambut. Sosialisasi pencegahan kebakaran lahan dan peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya lingkungan gambut menjadi faktor penting dalam penanganan kebakaran lahan. Selain itu, peningkatan sarana dan prasarana, termasuk sumber air yang memadai, juga perlu diperhatikan.
Dalam upaya mengatasi kebakaran lahan gambut, diperlukan koordinasi yang baik antara semua pihak terkait. Koordinator yang memiliki tanggung jawab utama dalam penanganan kebakaran lahan dapat membantu mengatasi masalah ego sektoral. Selain itu, kolaborasi antara pemerintah daerah, instansi pemerintah terkait, dan masyarakat sangat penting untuk mencapai pengelolaan yang efektif dan berkelanjutan.
Artikel ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan rekomendasi bagi pemerintah daerah dan instansi terkait dalam mengatasi kebakaran lahan gambut di Banjarbaru, Indonesia. Dengan meningkatkan sinergi dan menghilangkan ego sektoral, pengelolaan lingkungan gambut dapat menjadi lebih efektif dan memberikan solusi yang berkelanjutan dalam menghadapi tantangan kebakaran lahan.